Qiyas
﴿ المبحث الثانى عشر ﴾
فى القياس
القياس حجج. قال الله تعالى " فاعتبروا يا أولى الابصار"
القياس لغة : تقدير الشيء بأخر ليعلم المساواة بينهما. تقول قست الثوب بالذراع اي قدرته به
واصطلاحا : رد الفرع الى الاصل بعلة تجمعهما فى الحكم. كقياس الارز على البر فى الربا بجامع الطعام.
واركانه اربعة : الفرع , الاصل , حكم الاصل , علة حكم الاصل.
وهو ثلاثة اقسام :
١.قياس العلة وهو ما كان العلة فيه موجبة للحكم. كقياس الضرب على التأفيف للوالدين فى التحريم بعلة الاءيذاء. قال الله تعالى " ولا تقل لهما اف "
٢.قياس الدلالة وهو ما كان العلة فيه دلالة على الحكم ولا تكن موجبة للحكم. كقياس مال الصبى على مال البالغ فى وجوب الزكاة فيه بجامع انه مال تام. وجوز ان يقال : لايجب فى مال الصبي كما قال به ابو حنيفة فيه قياسا على الحج فانه يجب على البالغ ولايجب على الصبي
٣.قياس الشبه وهو الحاق الفرع المردد بين الاصلين باكثرهما شبها. كما في العبد اذا اتلف فانه مردد فى الضمان بين الانسان الحر من انه ادمي فيجب على من اتلفه القصاص وبين البهيمة انه مال فيجب عليه قيمته وهو بالمال اكثر شبها من الحر بدليل انه يباع ويورث ويوقف ويضمن وأجزاؤه بما نقص من قيمته.
Pembahasan Ke - 12
QIYAS
Qiyas adalah hujjah. Allah SWT. berfirman QS. al-Hasyr (59):2.
Artinya: “…Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.”
Al-Qiyas (القياس) menurut bahasa adalah mengukur atau memperkirakan sesuatu atas sesuatu yang lain untuk mengetahui persamaan diantara keduanya, seperti mengukur pakaian dengan lengan. Sedangkan menurut istilah, qiyas berarti mengembalikan hukum cabang (far') kepada hukum asal karena adanya ‘illat (alasan) yang mempertemukan keduanya dalam hukum. Seperti menqiaskan beras terhadap gandum dalam harta ribawiy dengan titik temu berupa keduanya sama-sama makanan pokok.
Rukun Qiyas ada empat yaitu:
- far',
- asal,
- hukum asal, dan
- illat hukum asal.
Macam-macam qiyas, di bagi menjadi tiga:
- Qiyas al-illat, Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menetapkan hukum. Seperti menqiyaskan memukul dengan ucapan yang tercela kepada kedua orang tua dalam keharamannya dengan alasan menyakitkan hati orang tua. Allah berfirman QS. Al-Isra' (17):23. ...الاية Artinya: “…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "Ah".”
- Qiyas al-dilalah, Yaitu sesuatu yang illat didalamnya menunjukkan pada hukum akan tetapi illat tersebut tidak menetapkan pada hukum. Seperti menqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang dewasa dalam kewajiban zakat dengan adanya titik temu bahwa harta anak kecil termasuk harta yang sempurna (al-mãl al-tãmm). Boleh juga mengatakan tidak wajib zakat -seperti yang dikatakan Abu Hanifah- dengan menqiyaskan pada haji yang mana, haji wajib bagi orang dewasa adapun anak kecil tidak wajib untuk haji.
- Qiyas al-syibh, Yaitu mempersamakan hukum cabang (far') yang masih diragukan antara dua asal dengan mengambil keserupaan yang lebih banyak dari asal tersebut. Contohnya dalam pembahasan budak yang dibunuh, apakah sipembunuh wajib dikenai hukum qishas karena budak juga termasuk manusia, ataukah cukup hanya dengan membayar ganti rugi dengan alasan adanya keserupaan budak dengan binatang, bahwa budak adalah harta. Dalam hal ini budak lebih banyak keserupaannya dengan binatang (harta) sebab, budak bisa diperjual-belikan, diwariskan, dan diwakafkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum-hukum Islam Qiyas lahir paling belakang. Ia di anggap sebagai prinsip dasar atau Sumber Hukum keempat. Seperti sumber-sumber hukum Islam lainnya. Sebenarnya Qiyas adalah salah satu cara ijtihad (Penalaran Hukum).
Qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukum berdasarkan nash. Qiyas merupakan proses ijtihad yang sistematis untuk mengungkap ketetapan hukum.
Proses penalaran hukum, yang secara teknis disebut ijtihad. Pada awalnya berkembang dalam bentuk penggunaan ro’4 (pendapat yang diakui) oleh para Fuqah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah hujjah Syar’iyyah terhadap hukum-hukum Syara’ tentang tindakan manusia.
Al-Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma. Di samping itu, qiyas harus mempunyai syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Oleh karena itu, Qiyas harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya.
B. Rumusan Masalah
- Definisi Qiyas
- Qiyas sebagai Dalil hukum
- Rukun-rukun Qiyas
- Syarat-syarat Qiyas
- Contoh-contoh Qiyas
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiyas
Qiyas[1]secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara keduanya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum sesuatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa.
Pengertian Al-Qiyas[2]menurut Isam Syafi’I akan diketahui apabila ditelusuri beberapa keterangannya di tempat terpisah yang menyangkut AL-Qiyas antara lain :
وَاْ لقِياَسُ مِنْ وَ جْهَيْنِ اَ حَدُ هُمَاَانْ يَكُوْنَ الشَّىْ ءُ ص مَعْزَ اْلاَ صْلِ فَلاَ حينتَلفِ فِيْهِ واَ نْ يَكُوْ نَ ا لشَّىْ اْلاَ صْدِ اَ شْباَ هٌ فَزَ لِكَ يَلْحَقُ بِاُ وْ لاَ هاَ شِبْهًا نِيْهِ وَ قَدْ يخَْتَلِفُ القـاَيِسُوْ نَ فىِ مَذَا
“Al-Qiyas dapat ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara’) sama betul dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa suatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku qiyas
وَاْلقِياَ سُ ماَ طَلََبَ الرَّ لاَ ئِلُ عَلرَ مُوَا فِقِهْ ا خَبَرُ اْلمتُقًدِّ مُ مِنَ اْ كِتاَ بِ وَا لُّسنَّهِ لأَِ نهَّمُاَ عِلْمُ أْ حَـقِ اْ لمُفْتَرِضِ طَلَبُهُ
Al-Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Qur’an maupun AL-sunnah karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.
فاَ لاْ جْتِهَاىُ ابَدً الاَ يَكُوْ نُ اِ لاَّ عَلىَ طَلَبَ شَرْءٍو طَللَبُ الشَرْءٍلاَيَكُوْنَ اِلاَّ بِدَ لاَ ئِلُ هِيَ القِيـَاسُ
“ Maka ijtihad selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari suatu (hukum suatu peristiwa). Mencari sesuatu itu hanyalah data ditemukan dengan menggunakan berbagai argumentasi dan argumentasi itu adalah Al-Qiyas”.
اَحَرُ هُماَاَنْ يَكُوُنَ اللهُ اَوْ رَسُوْ لَهُ حَرَمَ اَ لشَّئ مَنْصُوْ صًاَاوْاحَلَّهُ لمَِعْنَ ناَِزَاوَجَدْ ناَماَنىِ مِثْدِ نَ لِكَ اْ لمَعْنَ فِيْماَلـَمْ يَنْضِ فِيْهِ لِعَيْنِهِ كِتاَ بُ وَ لاَ سُلَّةُ اَ حْلَلْناَ هُ اَوْ اَ حْرَ مْناَ هُ لاَ نَّهُ نىِ مَعْزَ اْ كَلاَلِوَاْكَرَمِ
“ … Salah satu caranya ialah: Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tersurat (sarih eksplisit) atau menghalalkannya karena mana (‘llah) tertentu, kemudian jumpai suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serupa dengan makna pada peristiwa yang disebutkan dalam AL-Qur’an atau Al-sunnah, maka kita tetapkan hukum halal atau haramnya peristiwa yang tidak disebutkan nash karena ia semakna dengan makna halal atau haram”.
Pengertian Qiyas menurut Imam Syafi’i banyak mendapatkan dukungan dari ulama Ushul Fiqh di antaranya.
Al-Qadii, Abu Bakaral-Baqillni mendefinisikan Al-Qiyas sebagai berikut:
حَمَلَ مَعَلُوْ مُ عَلىَ مَعَلُوْمٍ فىِ تِ حُلَْمٍ لَهُماَ اَ وْ نَفْيٍ عَنْهُماَ بِاَ مْرٍ جاَبَيْنَهُماَ
“ Memasukkan suatu yang dimaklumi (Far’) ke dalam hukum sesuatu yang dimaklumi (asl) karena adanya ‘illah hukum yang mempersamakannya menurut pandangan mujtahid”.
Sadr Al-Syari’ah Ibn Mas’ud mendefinisikannya:
تَعْدِ يَهُ اْ حُكْمِ مِنَ اْلاَصْلِ اِ لىَ اْ لغَرَ عْ بِعِلَةٍ مُحَّتِدَ ةٍلاَ تَعْرِ فُ بُجَرَّ رٍ فَهُمُ اللَّغَةُ
“ Mengenakan hukum pada asl kepada Far’ karena adanya ‘illah yang mempersekutukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan literal semata”.
B. Kedudukan Sebagai Dalil Hukum
Jumhur ulama[3]. Berpendapat bahwa Qiyas adalah hujjah Syari’yyah terhadap hukum-hukum Syara’, tentang tindakan manusia. Al-Qiyas menempati urutan keempat di antara hujjah syar’iyyah, jika tidak dijumpai hukum atas kejadian itu berdasarkan nash atau ijma’. Di samping itu harus ada kesamaan illat antara satu peristiwa atau kejadian dengan kejadian yang ada nashnya. Kemudian, dihukum seperti hukum yang terdapat pada nash pertama, dan hukum tersebut merupakan ketetapan menurut Syara’. Ulama tersebut dikenal sebagai Mutsbitul Qiyas (orang yang menetapkan Qiyas).
Berdasarkan pada dalil Al-Qur’an, As-sunnah, perkataan dan perbuatan para sahabat. Ayat Al-Qur’an yang mereka gunakan sebagai dalil adalah:
Artinya :
“Hai orang-orang yng beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, serta Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang ke suatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-sunnah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisa : 59).
Metode pengambilan dalil dengan ayat di atas adalah karena Allah memerintahkan kepada kaum beriman jika berselisih pendapat dan berlawanan terhadap sesuatu yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-sunnah dan kesepakatan Ulil Amri, agar mengembalikan persoalan kepada Al-Qur’an dan Al-sunnah dengan bagaimana juga. Dengan demikian dapat diragukan lagi bahwa menghubungkan kejadian yang tak ada nashnya, yang mengandung arti taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya.
C. Rukun-rukun Qiyas[4]
Qiyas terdiri dari 4 (empat) rukun, yaitu:
- Al-Ashl, ialah sesuatu yang hukumnya yang terdapat dalam nash, biasa disebut dengan maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran) atau mahmul ‘Alaih (yang dipakai sebagai tanggungan), atau musyabbah Bih (yang dipakai sebagai penyerupaan);
- Al-far’u, yaitu yang hukumnya tidak dapat di dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-Ashl.
- Hukmu’l-Ashl ialah hukum Syara’ yang terdapat nashnya menurut al-ashl (asal), kemudian cabang (al-far’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
- Al-illat ialah keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar bagi hukum ashl (asal), kemudian cabang (al-far’u itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
D. Syarat-syarat Qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun Qiyas[5]. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
Ashal dan Fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan Fara’ berupa kejadian atau peristiwa yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah diterapkan hukumnya. Sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya, oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang Fara’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas tu batal dan hukum Fara’ itu batal dan hukum Fara’ ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu
Hukum Ashal
Ada beberapa Syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu :
- Hukum ashal itu hendaklah hukum Syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
- Lihat hukum ashal itu adalah ‘illat yang dapat dicapi oleh akal.
- Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
‘Illat
‘illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum asha. Serta untuk mengetahui hukum pada Fara’ yang belum ditetapkan hukumnya. Seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Ada lima syarat[6]yang mensahkan illat menjadi dasar qiyas adalah sebagai berikut:
- illat harus berupa sifat yang jelas dan tampak, sehingga ia menjadi sesuatu yang menentukan.
- illat harus kuat, tidak terpengaruh oleh perbuatan individu, situasi maupun keadaan lingkungan, dengan satu pengertian yang dapat mengakomodasikan seluruh perubahan yang terjadi secara definitive.
- harus ada korelasi (hubungan yang sesuai antara hukum dengan sifat yang menjadi illat.
- sifat-sifat yang menjadi ‘illat yang kemudian melahirkan qiyas harus berjangkauan luas (muta’addy), tidak terbatas hanya pada suatu hukum tertentu.
- syarat terakhir bahwa sifat yang menjadi ‘illat itu tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil.
E. Contoh-contoh Qiyas
$yJ¯RÎ) ã�ôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#urãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ô`ÏiB È@yJtãÇ`»sÜø‹¤±9$#çnqç7Ï^tGô_$$sù
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu "
Dalam ayat tersebut ada ‘illat memabukkan. Oleh karena itu. Setiap minum yang terdapat ‘illat memabukkan. Hukumnya sama dengan khamar, dan haram meminumnya.
ياَ يُهاَالَّذِ يْنَ اَمَنُوْااِنَ انُوْدِيَ لِلصَّلَوةِ مِنْ يَوْ مِ اْ لجُمْعَةِ فاَ سْعَوْاالىَ ذِ كِرْاللهِ وَ ذَ رُ وْ االَبيْعَ
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menaikkan shalat pada hari Jum’at, Mala bersegeralah Kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual beli …” (Q.S. 62:9)
‘Illat pada ayat tersebut adalah melalaikan shalat. Tentang sewa menyewa atau pegadaian atau perbuatan apapun yang terdapat illat tersebut ketika ada adzan Jum’at yakni kesibukkan dengan jual beli, karenanya, makruh melakukan apa saja tak kala adzan panggilan shalat diagungkan.
Lembar kertas telah dibubuhi tanda tangan, merupakan peristiwa yang terdapat dalam nash, yakni kertas tersebut sebagai hijjah terhadap pemberi tanda tangan yang diambil dari nash perdata, karena illat membubuhkan tanda tangan merupakan bukti bagi pemberi tanda tangan. Kertas yang dibubuhi cap jari tangan, padanya terdapat illat. Maka hal tersebut hukumnya diqiyaskan dengan kertas yang dibubuhi tanda tangan, di samping sebagai bukti bagi pemberi cap jari.
Terjadinya pencurian yang dilakukan oleh keluarga, antara Bapak dan anak atau antara suami dan istri, pelakunya tidak boleh dihukum kecuali kalau ada tuntutan dari pihak tercuri (korban) yang didasarkan pada Undang-undang pidana.
Pada contoh-contoh tersebut, kejadian-kejadian yang tidak ada nash-Nya telah disamakan dengan kejadian-kejadian yang ada nash-Nya berdasarkan persamaan illat hukum bagi dua kejadian masing-masing-masing-masing-masing. Meyamakan hukum terhadap dua kejadian berdasarkan illat yang sama disebut Al- Qiyas, demikian menurut ahli Ushul. Menurut mereka, pengertian menyamakan satu kejadian dengan kejadian lain, merupakan pengertian yang sama maknanya, dan madlul-Nya adalah satu juga.[7]
BAB III
KESIMPULAN
- Qiyas adalah mempersamakan suatu hokum atau satu peristiwa yang tidak ada nasnya dengan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan iilat hukumnya dari kedua peristiwa.
- Al-ashl ialah suatu yang hukumnya terdapat dalam nash.
- Al-far’u ialah yang hukumnya tidak terdapat dalam nash, dan hukumnya disamakan kepada Al-ashal.
- Hukmu’ adalah hokum syara’ yang terdapat nashnya menurut Al-ashl, kemudian cabang (Al-far’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hukumnya.
- Al-illat ialah keadaan tertentu yang di pakai sebagai dasar bagi hokum asal, kemudian cabang (al-far’u) itu disamakan kepada asal dalam hal hokumnya.
- Syarat-syarat Qiyas:Ashal dan fara’,hokum ashal,illat.
- Contoh Qiyas: Minum khamar (arak) adalah kejadian yang telah di tetapkan dalam nash, yaitu hukumnya haram karna memabukkan. Kemudian para ulama mempersamakan hokum minum khamar dengan meminum wisky, brandy,sedangkan hokum minum wisky dan brandy tidak ada dalam nash,kemudian ulama mempersamakan hokum keduanya karena ada persamaan illat
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khalaf. 1996. Ushul Fiqh, Bandung : balai Pustaka
Sulaiman Abdullah. 1996. Dinamika Qiyas, Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya
http://riana.tblog.com
Muhammad Abu Zahzah2005. Ushuhul Fiqh, Jakarta : Pustaka Firdaus.
[1] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, (Bandung ; Balai Pustaka, 1996), hal 92-93
[2] Sulaeman Abdullah, Dinamika Qiyas Dalam Pembaharuan Hukum Islam : Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’I (Jakarta ; Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hal 104-109
[3] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul…, hal 95-97
[4] Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, (Jakarta : Gema Risalah Press, 1996), hal 106
[5] http://Riana. Tblog.com
[6] Muhammad Abu Zahzah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hal 366-369
[7] Abdu Wahab Khalaf, Ilmu Ushul …, hal. 93-35
Kesimpulan
- Qiyas menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Alqur’an dan Hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
- Dengan cara qiyas itu berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum sesuatu kepada sumbernya Alqur’an dan Hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash Alqur’an atau Hadits, kadang juga bersifat implisit-analogik terkandung dalam nash tersebut
- Sebagian para ulama’ fiqh dan para pengikut madzab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran islam. Mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar
- Hanya sebagian kecil para ulama’ yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzab Dzahiri dan Madzab Syi’ah.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. 2012. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
QIYAS SEBAGAI DALIL HUKUM ISLAM
Disusun oleh: Zainal Masri
STAIN Batusangkar
Pengertian qiyas,
Secara bahasa Arab berartimenyamakan, membandingkan ataumengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya.
Qiyas juga berarti ukuran, minsalnya saya mengukur baju dengan hasta. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Pengertian qiyas secara terminologi adalah terdapat beberapa defenisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandung pengertian yang sama. Diantaranya sadral syari’ah. Menurutnya qiyas adalah memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan karena ‘illat yang dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja[1]
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
Minsalnya Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat.
Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas contohnya sebagai berikut:
- Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT. $pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä$yJ¯RÎ) ã�ôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#urÜ>$|ÁRF{$#ur ãN»s9ø—F{$#ur Ó§ô_Í‘ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø‹¤±9$#çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90) Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
- Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan. Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda: Artinya: "Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi) Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
- Ketidak bolehan bersikap kasar dalam bentuk memukul orang tua yang dianalogikan kepada ketidak bolehan berkata kasar yang menyakitkan sebagaimana yang ditunjukan dalam surat al-isra: 23[2]
Dasar hukum qiyas
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil syara’, muhammad abu zahrah membagi menjadi 3 kelompok:
- Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil hukum syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukunya dalam nash alqur’an dan sunnah dan ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
- Kelompok ulama zhahiriyah dan syi’ah dan imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zahiriah juga menolak penemuan ‘ilat atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’
- Kelompok yang menggunakan qiyas secara mudah mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘ilatdiantara keduanya: kadang-kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga qiyas itu dapat dapat membatasi keumuman sebagian ayat alqur’an dan sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil hukum syara’:
- Al-Qur'an
- Allah SWT memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagai mana yang terdapat dalam surat yasiin: 36:78-79 z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕãƒzN»sàÏèø9$# }‘Édur ÒOŠÏBu‘ ÇÐÑÈ ö@è% $pkŽÍ‹ósムü“Ï%©!$#!$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§�tB ( uqèdurÈe@ä3Î/ @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ 78. Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?" 79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. Ayat ini menjelaskan bahwa allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali. Kelompok zahiriyah menolak argumentasi ini.mereka mengatakan bahwa allahtidak pernah menyatakan bahwa ia mengembalikan tulang-belulang oleh karena ia menciptakannya pertama kali.
- Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana di pahami dari beberapa ayat alquran seperti dalam surat alhasyr: 59:2 ((#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<'ré'¯»tƒ Ì�»|Áö/F{$# ÇËÈ Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. Penjelasan ayat itu diantaranya dapat dilihat dalam keterangan yang diriwayatkan dari tsalab. Ia berkata bahwa al-‘itibar dalam bahasa arab berarti mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya. Ia dinamai “ ashal”yang kepadanya dikembalikan bandingannya secara ibarat. Dalam hal ini allah berfirman. Qs. Aliimbran: 13 žcÎ) ’Îû š�Ï9ºsŒ ZouŽö9Ïès9 _Í<'rT[{Ì�»|Áö/F{$# ÇÊÌÈ Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. Kalau seseorang berkata: saya mengi’tibarkan pakaian ini kepada pakaian yang ini. Maksudnya: dia menyamakan dalam hitungan. Inilah yang dinamakan dengan qiyas.
- Dalil Sunnah, Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah: Artinya:"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi) Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti: Artinya: "Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i) Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
- Perbuatan sahabat, Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
- Akal, Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.[3]
Kehujjahan qiyas
- Jumhur ulama ushul fiqih berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau sarana untuk mengistimbatkan hukum syara’ bahkan syar’i menuntut pengamalan qiyas
- Para ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja yaitu:
- ‘ilatnya mansukh 9disebutkan dalam nash), baik secara nyata maupun melalui isyarat. Minsalnya dalam hadis rasulullah SAW “ dahulu saya melarang kamu menyimpan daging qurban untuk kepentingan adh-dhuaffah (para tamu dari perkampungan badhui yang datang kemedinah yang membutuhkan daging qurban)sekarang simpan lah daging itu. (HR. Bukhari, muslim, nasa,i, atturmizi, abu daud dan ibnu majah)
- Hukum far’u harus lebih utama dari hukum ashal minsalnya mengkiaskan hukum memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan “ah” kepada keduanya karena keduanya sama-sama bersifat menyakiti bagi kedua orang tua. Dalam hubungan ini menurut mereka pemukulan lebih berat hukumannya daripada mengatakan “ah”
3. Ulam zahiriyah termasuk as-saukani berpendapat bahwa secara logika, qiyas memang boleh, tapi tidak ada satu nash pun dalam ayat alquran yang menyatakan wajib pelaksanaanya. Argumentasi ini menunjukan menolak pendapat jumhur ulama yang mewajibkan pengamlan qiyas
4. Ulama syiah imamiyah dan annazzam dari mu’tazilah mengatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal
Rukun dan syarat qiyas
Rukun qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai berikut:
- Ashl yang berarti pokok, yaitu suatu pristiwa yang telah ditetapkan hukum berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingakan)
- Far’u yang berarti cabang, yaitu suatu pristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis, (yang diukur), atau musyabbah (yang diserupakan), atau mahmul (yang dibandingkan), seperti pengharaman wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamar.
- Hukum ashl hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘ilatnya.seperti keharaman minuman khamar. Adapun hukum yang ditetapkan oleh far’u pada dasarnya merupakan buah (hasil) dari qiyas dan karenanyatidak termasuk rukun.
- ‘ilat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainyasifat yang ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashl[4]
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù'tƒtAºuqøBr& 4’yJ»tGuŠø9$#$¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù'tƒ ’ÎûöNÎgÏRqäÜç/ #Y‘$tR (šcöqn=óÁu‹y™ur #ZŽ�Ïèy™ÇÊÉÈ
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara', ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- 'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
Syarat –syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:
- Ashal dan fara', Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
- Hukum ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
- Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas.
- 'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
- Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.
Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
Macam-macan qiyas
- Qiyas aula (qiyas ini dinamai juga awlawi, qiyas qhat’i) yaitu suatu qiyas yang ‘ilatnya itulah yang mewajibkan hukum.atau dengan kata lain sesuatuqiyas hukum yang diberikan kepada pokok lebih patut diberikan kepada cabang. Contoh qiyas tidak boleh memukul orang tua, kepada tidak bolenya kita mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya, kepada orang tua. Hukum “tidak boleh” ini lebih patut diberikan kepaada memukul.daripada dihukumkan kepada mengucapkan perkataan yang menyakitkan hatinya.
- Qiyas musawi yaitu suatu qiyas yang ilatnya mewajibkan hukum. Atau mengqiyaskan sesuatu keapada sesuatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut. Umpamanya: menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
- Qiyas adna atau qiyas adwan yaitu mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatuyang memang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘ilat yang sama yaitu sama-sama jenis makanan
- Qiyas al-‘aksi, tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘ilat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang sepertinya karena keduanya itu berlawanan tentang hal ‘ilat.
- Qiyas assabri wa taqsim, qiyas yang ditetapka ‘ilatnya sesudah dilakukan penelitian dan peninjauan yang lebih dalam.
- Qiyas Dalalah, yaitu qiyas yang ‘ilatnya tidak disebut tetapi merupakan petunjuk yang menunjukan adanya ‘ilat untuk menetapkan sesuatu hukum dari sesuatu pristiwa.
- Qiyas fi ma’nal ashli, yaitu qiyas yang tidak dijelaskan washaf (sebab ‘ilat) yang mengumpulkan antara pokok dan cabang didalam mengqiyaskan itu
- Qiyas al-ikhalati wal munasabati, yaitu qiyas yang jalan menetapkan ‘ilatyang dipetik daripadanya (yang dikeluarkan dengan jalan ijtihad), ialah munasabah, yakni kemaslahatan memelihara maksud (tujuan)
- Qiyas ‘ilat, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain karena kesamaan ‘ilatantara keduanya membandingkan hukum minuman yang memabukkan kepada khamar.[5]
Cara-cara mencari ‘ilat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
- Cara mengetahui ‘ilat
- Melalui nash, baik ayat-ayat alquran maupun sunnah Rasulullah SAW
- Cara kedua untuk mengetahui ‘ilat suatu hukum melalui ijma’. Dengan ijma’ diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’yang menjadi ‘ilat hukum.
- Al-ma wa at-tanbih yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lafal
- As-sibr wa-at-taqsim
- Munasabah
- Mencari ‘ilat melalui tanqih al-manath yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan ‘ilat dari berbagai sifat yang dijadikan ‘ilat oleh syar’i, dalam berbagai hukum
- Athard yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya
- Assyabah yaitu sifat yang mempunyai kesempurnaan
- Dauran sesuatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan
- Algha al-fariq adalah terdapat titik perbedaan antara sifat dengan hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya persamaanya.[6]
2. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
- Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
- Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
- Sifatitu merupakan hal yang sesuai. dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
- 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan. ‘ilat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekadar tanda-tandaatau indikasi hukum. Maksudnya fungsi ‘ilat adalah bagian dari ntujuan disyaratkan hukum yaitu: untuk kemaslahatan umat manusia.
[1] Dr. Nasrun haroen, ushul fiqih 1, (Jakarta: logos), h. 62
[2] Drs. Totok jumantoro, MA, kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), h 272
[3] Amir sarifudin, ushul fiqih 1
[4] Drs. Totok jumantoro, MA, Kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), 276-277
[5] Teungku muhammad hasbi ash-shiddieqy,Pengantar Hukum Islam, (Bandung, PT. Pustaka rizki putra), h.203213
[6] Drs. Totok jumantoro, MA, Kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), h.122-126
Dalam pembahasan hukum islam kita sering kali mendengar kata “qiyas”. Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan qiyas itu sendiri, dan bagaimana cara menggunakannya.
Qiyas merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk mendeteksi hukum-hukum Islam yang tidak ada dalil (Al-Qur’an dan Hadis) secara jelas tentang hukum terhadap suatu permasalahan. Sangat banyak permasalahan-permasalahan baru yang tidak ada dalil secara langsung melalui Al-Qur’an dan Hadis namun untuk memecahkan permasalah tersebut para ulama sangat banyak menggunakan qiyas. Hampir seluruh hukum Islam menyangkut permasalahan-permasalahan baru difatwakan dengan menggunakan qiyas.
Seorang faqih harus memiliki pemahaman yang tuntas tentang konsep qiyas ini, jika seorang faqih tidak menguasai konsep qiyas maka keilmuannya perlu diragukan. Beranjak dari hal tersebut maka penulis ingin menguraikan secara umum tentang qiyas.
Qiyas adalah menyamakan suatu perkara yang belum ada hukumnya dengan perkara lain yang telah ada hukumnya dalam Al-Quran atau Hadis. Sebagaimana yang dapat kita fahami dalam ungkapan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari dalam kitabnya Lubbul Ushul halaman 110 sebagai berikut.
وهوحمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل
Qiyas adalah menyamakan perkara yang ma’lum dengan perkara ma’lum lainnya. Karena perkara ma’lum yang pertama memiliki kesamaan illah hukumnya dengan perkara ma’lum kedua menurut orang yang menyamakannya.
Dari penjelasan Syaikhul Islam Zakarial Al-Anshari tersebut dapat kita fahami bahwa dalam menerapkan konsep qiyas ini kita harus mengenal perkara yang akan diqiaskan (disamakan) atau dalam bahasa istilahnya sering disebut Maqis (perkara yang diqiaskan). Hal ini dapat kita fahami dari ungkapannya “ma’lum” yang artinnya diketahui secara pasti, artinya perkara yang belum ada hukumnya harus kita ketahui secara mendetil.
Kemudian kita juga harus mengenal secara pasti perkara yang akan menjadi tumpuan pengqiasan atau dalam bahasa istilahnya dinamakan dengan Maqis Alaih (perkara yang diqiaskan kepadanya).
Setelah kita mengenal kedua perkara tersebut kemudian kita juga harus mengenal apa yang dinamakan dengan illah (alasan penetapan hukum) yang terdapat pada maqis alaih. Dan kemudian kita mendeteksi apakah illah yang terdapat pada maqis alaih juga ada pada maqis, jika illah tersebut ada maka hukum pada maqis bisa disamakan dengan maqis alaih dan jika illah pada maqis alaih tidak ada dalam maqis maka hukum maqis tidak bisa disamakan dengan maqis alaih.
Sebagai contoh, kita sepakat bahwa khamar adalah haram hukumnya dengan alasan meminum khamar dapat memberikan efek memabukkan, dan hukum meminum khamar telah ditetapkan yaitu haram karena ada dalil dalam Al-Qur’an langsung. Kemudian kita melihat kepada alkohol, dan alcohol belum ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an kemudian setelah diselidiki ternyata ditemukan bahwa alcohol jika diminum juga akan memberi efek memabukkan. Maka dengan demikian bisa ditetapkan bahwa meminum alcohol juga hukumnya haram karena memabukkan dan keharaman alcohol tersebut berdasarkan qias, lebih jelasnya berdasarkan pengqiasan terhadap khamar.
Dari contoh diatas kita bisa melihat mana yang dinamakan dengan maqis, maqis alaih dan illah. Tiga unsur tersebut dalam contoh diatas bisa kita lihat bahwa yang pertama maqis, yang mana maqis ini adalah perkara yang tidak ada dasar hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, dalam contoh diatas maqisnya adalah alkohol. Dan yang kedua adalah maqis alaih, yang mana maqis alaih ini adalah perkara yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, dalam contoh diatas maqis alaihnya adalah khamar. Kemudian yang ketiga adalah illah, sesuatu yang menjadi alasan dalam penetapan hukum pada maqis alaih, dalam kasus diatas illahnya adalah memabukkan.
Dari penjelasan diatas dapat difahami bahwa sebelum melakukan pengqiyasan seorang faqih harus mengenal tiga perkara tersebut baru kemudian mengqiyaskannya. Wallahu A'lam Bisshawab.
Referensi: Kitab Lubbul Ushul halaman 110
[6/2 00.36] Pp El-bayan: Salah satu metode instimbat al-Ahkam (penggalian hukum) menurut mazhab Imam Syafi’i adalah metode Qiyas. Metode ini kerab digunakan setelah jawaban permasalahan yang terjadi tidak ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Metode Qiyas juga dapat dikatakan sebagai metode yang sangat layak dan relevan bagi setiap waktu dan tempat, sebab metode ini mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan Hadis.
Di dalam kitab ar-Risalah, Imam as-Syafi’I menyinggung masalah Qiyas sebagai satu bagian dari perkara Bayan. Artinya, metode Qiyas merupakan metode bayan yang dapat digunakan dalam mengistimbat (mengeluar) kan hukum dari masalah-masalah yang terjadi. Oleh karenanya, seyogyanya bagi seorang Faqih untuk mengenal dan mempelajari metode Bayan ini supaya ketetapan/keputusan yang ia ambil tidak berlawanan dengan al-Quran dan Hadis.
Secara defenisi, imam Syafii memberikan defenisi Qiyas sebagai berikut :
والقياس ما طلب بالدلائل على موافقة الخبر المتقدم من الكتاب والسنة
“ Qiyas adalah sesuatu yang dituntut (dibahas) dengan menggunakan berbagai dalil, dengan syarat ketentuan ini mesti bersesuaian dengan al-Quran dan Sunnah”.
Dari defenisi yang diberikan imam as-Syafii diatas, dapat dipahami bahwa Qiyas merupakan sesuatu pekerjaan atau sesuatu ketentuan yang ditetapkan dengan beberapa dalil. Dan ketentuan tersebut mesti tidak berlawanan dengan al-Quran dan Hadis.
Menurut beliau, ada dua kategori yang dapat digunakan sebagai tolak ukur dari Qiyas yang bersesuaian (الموافقة) dengan al-Quran dan Sunnah.
Pertama, kesesuaian “makna” yang menjadi sebab terjadinya hukum halal dan Haram pada perkara-perkara yang disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (الأصل) dengan perkara-perkara baru yang tidak disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah (الفرع). Contohnya adalah pada perkara wajib zakat padi/beras. Didalam al-Quran atau Sunnah, tidak ditemukan ayat atau hadis yang menjelaskan bahwa padi wajib dizakati. Cuma, dengan metode Qiyas ini, kita dapat menyimpulkan bahwa padi wajib dizakati dengan alasan karena makna (ilat) yang terdapat dalam hukum wajib zakat gandum yang dijelaskan oleh Hadis Nabi Saw juga terdapat dalam zat padi. Makna tersebut adalah sifat mengenyangkan.
Kedua, penyerupaan dengan perkara yang lebih serupa dari dua perkara yang memiliki sisi keserupaan. Kategori ini dapat kita lihat dalam pendapat imam Syafi’i tentang denda buruan ketika masa Ihram. Menurut beliau, denda buruan tersebut adalah dengan mengganti jenis hewan yang sama, bukan dengan mengganti harga hewan yang dibunuh. Sebab, kesamaan hewan yang dibunuh dengan hewan lain yang sejenis lebih memiliki unsur kesamaan yang lebih banyak dibandingkan dengan harga hewan tersebut. Wallahu’alam. | A-R (santri).
Referensi : Muhammad bin Idris as-Syafi’i, ar-Risalah, Maktabah Syuruq al- Dauliyyah, hal : 126.
betmatik
ReplyDeletekralbet
betpark
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
HFHVV
betmatik
ReplyDeletekralbet
betpark
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
GUJ
betmatik
ReplyDeletekralbet
betpark
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
mobil ödeme bahis
UQTR4
bahis siteleri
ReplyDeletehttps://bahissiteleri.io
youwin
bets10
1xbet
SJZFEW
canlı sex hattı
ReplyDeletehttps://girisadresi.info/
heets
salt likit
salt likit
YUU67
batman
ReplyDeletebilecik
bingöl
bitlis
bodrum
RPXSV