Kajian Ushul Fiqh (waroqot) "Lima Macam Takhsis"

إلى حضرة النبي المصطفى سيدنا محمد صلى الله عليه وسلم واله واصحابه واتباعه وإلى حضرة جميع مشايخنا ومعلمينا وإلى جميع مؤلفي الكتب التي تعلمناها وعلمناها خصوصا الي إمام الحرمين أبي المعالي الجويني مؤلف متن الورقات
الفاتحة...
ﺑﺴﻢ اﻟﻠﻪ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ (1)
اﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ (2) اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ (3) ﻣﺎﻟﻚ ﻳﻮﻡ اﻟﺪﻳﻦ (4) ﺇﻳﺎﻙ ﻧﻌﺒﺪ ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻧﺴﺘﻌﻴﻦ (5)
اﻫﺪﻧﺎ اﻟﺼﺮاﻁ اﻟﻤﺴﺘﻘﻴﻢ (6) ﺻﺮاﻁ اﻟﺬﻳﻦ ﺃﻧﻌﻤﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻻ اﻟﻀﺎﻟﻴﻦ (7)
sebelum kita lanjutkan kajian berikutnya. saya akan mengulang poit terakhir:
 ويجوز تخصيص الكتاب بالكتاب. وتخصيص الكتاب بالسنة وتخصيص السنة بالكتاب وتخصيص السنة بالسنة
💢Takhsis itu ada 5 model yang boleh:👇
💦1. Al-Qur'an d takhsis dengan ayat Qur'an juga.
👉Contoh:
Ayat Aam: ولا تنكحوا المشركات
Ayat Khusus: والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم
👉Fakus pada kata المشركات yang menjadi titik bahasan. Dia kata yang umum, sehingga ada larangan menikah dengan siapa saja orang yg berpredikat Musyrik. Tapi kemimudian datanglah ayat berikutnya yang dengan titik fokus pada والمحصنات yang berarti wanita2 yg terjaga, tapi dari golongan ahlul kitab (yahudi+ nasroni)..yang berarti boleh juga menikah dengan non muslim ahlil kitab. Ayat kedua mentakhsis keumuman dari ayat yang pertama
💦2. al-Qur'an di Takhsis dengan Sunnah Nabi. 
👉kita ambil contoh adalah ayat Qur'an yang berbunyi:
 {يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ } [النساء: 11]
👉dalam ayat di atas, kata (أولادكم) adalah kata yang Aam (umum) sebab terdiri dari Jama' yang di idhafahkan pada kata yang menunjukkan jama' pula. Nah, keumuman ini tentunya juga mencakup anak-anak yang mukmin maupun yang bukan, mereka semua mendapatkan hak di bagian dari warisan orang tuanya yang muslim. akan tetapi ini bertentangan dengan Hadis Nabi yang berbunyi:
 لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم
yang secara mudah artinya adalah bahwa seorang yang muslim tidak lah berhak untuk mewaris orang kafir dan sebaliknya. Hadis tersebut menggunakan kata yang "Khusus", yakni Kafir dan Muslim, jadi hadis tersebut pada akhirnya men-takhsis keumuman ayat al-Qur'an tadi
💦3. men-takhsis sunnah dengan al-Qur’an.
👉Misal kita contohkan adalah hadis Rasulullah saw yang menyatakan:
لا يقبل الله صلاة أحدكم إذا أحدث حتى يتوضأ
👉Dari hadis di atas, sholat tidak akan diterima bagaimanapun juga dari orang yang berhadas. Jalan satu-satunya untuk bisa di terima adalah dengan berwudhu. Namun ada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa:
{ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا} [النساء: 43]
Yakni ayat yang menjelaskan bahwa kalau tidak menemukan air (فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً) maka di perbolehkan dengan tayammum (فَتَيَمَّمُوا). Keumuman/kemutlakan hadis yang hanya harus wudhu saja, di taqyid/takhsis dengan ayat yang memperbolehkan bertayammum
💦4. takhsis sunnah Nabi dengan Sunnah nabi yang lain.
👉Bisa kita contohkan pada hadis Nabi yang dalam kasus zakat Zuru’. Beliau bersabda:
فيما سقت السماء العشر
👉Dalam hadis tersebut, kita menemukan redaksi aam pada kata (ما), yakni semua tumbuh-tumbuhan apa saja, jikalau itu di sirami dengan air hujan (السماء), maka yang wajib adalah mengeluarkan zakat berupa 10% (العشر) dari tanaman tersebut. Tanpa memandang apa sudah mencapai nishab/belum.
Namun kemudian ada Hadis lain yang menjelaskan bahwa tidak cukup hanya sekedar di sirami dengan hujan saja, tapi ada syarat mencapai nishab, yakni dawuhan Kanjeng Nabi:
ليس فيما دون خمسة أوسق صدقة
Kata (ما) di sini dijelaskan dengan sifat berupa 5 wasaq (خمسة أوسق), dan mendapat hukum wajib di keluarkan zakatnya (صدقة). Jadi, yang wajib dikeluarkan zakatnya hanyalah yang mencapai 5 wasaq saja.
💦5. men-Takhsis Nas dengan Qiyas.
Dalam bahasa Imam Haromain di atas, ada istilah (النطق). Istilah ini paling tidak memberikan 2 pengertian kepada kita sebagai berikut:
  1. Yang di maksud dengan (النطق) di sini adalah al-Qur’an maupun Hadis Nabi.
  2. Menunjukkan bahwa dalam kasus takhsis ini hubungannya dengan teks yang bersifat Qaul, bukan perbuatan Nabi (Fi’lu). Oleh karenanya, Imam Haromain dulu dalam pembahasan Umum dan Khusus menyebutkan bahwa:
والعموم من صفات النطق
👉Yang di maksud dengan Qiyas di sini adalah ijtihad ulama, hanya saja tentunya Ijtihad yang mempunyai mustanad (sandaran ijtihad) dari teks, baik itu Qur’an maupun Hadis. Jadi Qiyas/akal di sini bisa mentakhsis karena seolah-olah yang mentakhsis adalah sandarannya.
👉Contoh dari Takhsis di sini adalah kasus hukuman bagi budak lelaki yang berzina. Sebenarnya ayat tentang Zina adalah:
{الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ } [النور: 2]
Dalam ayat di atas kata (الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي) itu umum, bisa saja lelaki/wanita yang merdeka maupun orang yang budak. Hanya saja kata (الزَّانِيَةُ) di takhsis dengan ayat lain yang mengatakan:
{فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ } [النساء: 25]
Pada kata (أَتَيْنَ) dhomir di sini kembali pada budak-budak perempuan. Nah, berarti budak perempuan mendapatkan keringanan berupa hukuman separo (نِصْفُ مَا) dari hukuman wanita yang merdeka. Lalu bagaimana dengan budak laki-laki? Dalam banyak hal, budak laki-laki di samakan dengan budak perempuan, dengan ‘Illat Jami’ah berupa “budak/roqobah”. Berarti karena di qiyaskan, maka hukuman budak lelaki sama dengan hukuman budak perempuan, yakni separo.
👉Kesimpulannya, ayat (َالزَّانِي) di takhsis dengan Qiyas nya budak laki-laki pada budak perempuan.
wallohu a'lam. sampai di sini dulu, silahkan jikalau ada yang ingin menambahi, mengkritisi dan ataupun tidak setuju. suwun

Comments

Popular posts from this blog

Syawir "Hukum Sholawat saat Memandikan Jenazah"

Kajian Qowaidh al fiqh ( Kitab al Asybah wa an Nadzoir) "Hal yang Berhubungan dengan Niat"

Kajian Ushul Fiqh (waroqot) "Perilaku Shohibus Syariah"